Editorial.
SPP dan
Sudut Pandang
Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, merupakan program yang yang
dibentuk pemeritah dengan maksud meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan
kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam
pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.
Satu
diantara cara mencapai tujuan diatas,
UPK mewujudkannya dalam bentuk perguliran simpan pinjam, dengan demikian
diharapkan UPK dapat membantu masyarakat miskin saat mereka memerlukan modal
untuk usaha,
Dari
sisi fungsi, kelompok simpan pinjam dibagi ke dalam dua fungsi, yang pertama kelompok chanelling (kelompok yang
berfungsi menyalurkan pinjaman dari UPK
kepada masing-masing anggota) yang kedua kelompok
executing
(kelompok yang fungsinya mengelola kegiatan simpan pinjam). Untuk
menyahuti tujuan program diatas, fungsi kelompok yang paling mendekati kepada
tujuan program adalah kelompok executing,
Mengapa
demikian?. Proses pengajuan pinjaman dengan fungsi kelompok executing hanya sampai pada kelompok
saja, sehingga saat anggota memerlukan biaya untuk usahanya, maka sesaat itu
juga anggota mendaptkannya, anggota tidak perlu menunggu lama seperti halnya
kelompok chanelling. Kondisi di lapangan
saat ini masih banyak kelompok yang saat mereka memerlukan modal, UPK belum
mampu memberikan pinjaman dengan berbagai alasan, seperti belum verifikasi-lah,
belum MAD -lah dan banyak alasan klise lainnya. akibatnya anggota kelompok
mencari alternatif tempat meminjam lain, dan kembalilah mereka ke pola-pola lama
yang mencekik leher, dengan kondisi ini dimana fungsi unit pengelola, fasilitator program, pelaku program dan
lembaga bentukan program lainnya?.
Jika
kita cermati program melalui Petunjuk Teknis Operasional (PTO), memberikan kelonggaran bagi pelaku, untuk
mendapatkan operasional yang cukup sesuai kebutuhan pengelolaan, PTO X
membenarkan UPK menggunakan 75% dari pendapatan jasa pinjaman untuk operasional
pengelolaan program, dengan ketentuan ini UPK akan mendapatkan honor yang lebih
dari cukup jika mereka serius, demikian juga pelaku lainnya akan mendapatkan
biaya oparasional yang juga cukup jika bekerja profesional dan terencana.
Tetapi
fakta yang ada tujuan program dalam membantu mensejahterakan masyarakat lewat
Simpan Pinjam kelompok Perempuan (SPP), masih jauh dari tujuan,
Untuk
itu semua dibutuhkan orang-orang yang memiliki dedikasi dan semangat membangun
demi kemajuan bersama, tidak hanya berfikir sesaat sebatas harga transport dan
operasional. Jika pengabdian yang ikhlas disempurnakan dengan dedikasi yang
tinggi tidak mustahil Kabupaten Serdang Bedagai dengan jumlah kelompok lebih
dari 700 kelompok, dengan asset lebih dari 11 M, kesejahteraan masyarakat
miskin akan terselesaikan melalui Simpan Pinjam kelompok Perempuan. Semoga!
Yang Terhormat
Redaksi Tabloid Kompak,
Saya
Abdul Karim Ketua BKAD Kec. Sei Rampah, pertanyaan yang saya ajukan sebagai
berikut : dalam menjalankan tupoksinya BKAD sebagai lembaga pemegang menagement
kegiatan program dikecamatan tentunya memerlukan biaya, khususnya untuk
kunjungan dan operasional kegiatan dilapangan, mohon penjelasan darimana kami
memperoleh pembiayaan tersebut.?, terima kasih sebelumnya atas jawaban yang
diberikan.
Abdul
Karim
BKAD
Kec. Sei Rampah
Jawaban
:
Sebelumnya, kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada Bapak Abdul Karim yang telah menyampaikan pertanyaan
ini kepada redaksi, jawaban kami BKAD sebagai lembaga tertinggi pemegang amanat
pengendalian program ditingkat kecamatan dalam melaksanakan tupoksinya dapat
menggunakan dana dari surplus upk dalam bentuk penguatan kelembagaan yang telah
disah kan di forum MAD, besaran angka persentasenya tergantung SOP yang ada,
berdasarkan PTO, dana penguatan kelembagaan itu maksimal 10% dari total surplus
yang didapat. Nah untuk menggunakannya BKAD membuat perencanaan kegiatan dan
rencana penggunaan dana tersebut, kemudian disampaikan di frum MAD untuk
mendapatkan persetujuan.
Disamping itu UPK juga
dapat mengalokasikan transport bagi bapak/ibu pengurus BKAD untuk rapat bulanan
di kecamatan membahas pencapaian target atau hal lainnya, yang UPK masukkan
kedalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Biaya (RAPB) yang juga sebelumnya telah
di sah di forum MAD,
Semua pembiaayaan diatas
sangat tergantung kepada besar kecilnya pengelolaan asset simpan pinjam
kelompok perempuan (SPP) yang ada dimasing-masing kecamatan.
Demikian jawaban kami,
Redaksi Kompak.
TINJAU ULANG
PNPM : SEBUAH TANGGAPAN
Oleh. Gilang
Prayoga
Dari sebuah harian nasional, saya membaca sebuah artikel
menarik terkait dengan PNPM. Artikel itu ditulis oleh beliau bapak Zainin
Ahmadi, anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan. Dalam artikel tersebut
beliau memberikan usulan untuk meninjau ulang kegiatan PNPM. Tinjauan ulang itu
berdasarkan 5 alasan yaitu a) penyelenggaraan program menabrak UU Nomor 13
Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (UU-PFM), b) Dana triliunan rupiah
PNPM-Mandiri tidak murni dari anggaran pendapatan belanja Negara dan daerah,
melainkan dari pinjaman Bank Dunia, c) Program PNPM jauh dari makna
pemberdayaan masyarakat, d) Program PNPM-Mandiri tumpang tindih dengan
proyek-proyek pembangunan lain karena jelajah PNPM-Mandiri yang tiada batas, e)
PNPM sangat politis (Republika, 7 Februari 2012).
Sebagai seorang penggiat serta pelaku pemberdaya masyarakat yang berada di lapangan serta bersentuhan langsung dengan akar rumput, saya merasa harus menyampaikan beberapa tanggapan sekadar sebagai urun rembug, yang motivasinya pasti sama dengan niat baik dari beliaunya bapak anggota dewan yaitu semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak ada motivasi yang terselubung. Beliau mungkin merasa gelisah dengan keadaan PNPM, dan ingin agar pembangunan berjalan sesuai mekanisme sehingga aspek manfaat yang diterima masyarakat dapat maksimal.
Sebagai seorang penggiat serta pelaku pemberdaya masyarakat yang berada di lapangan serta bersentuhan langsung dengan akar rumput, saya merasa harus menyampaikan beberapa tanggapan sekadar sebagai urun rembug, yang motivasinya pasti sama dengan niat baik dari beliaunya bapak anggota dewan yaitu semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak ada motivasi yang terselubung. Beliau mungkin merasa gelisah dengan keadaan PNPM, dan ingin agar pembangunan berjalan sesuai mekanisme sehingga aspek manfaat yang diterima masyarakat dapat maksimal.
PNPM lahir dilatarbelakangi dengan adanya persoalan
kemiskinan dan pengangguran yang menjadi masalah utama di negeri ini.
Kesenjangan pembangunan antar wilayah yang mencolok, ketimpangan pendapatan
yang cukup ekstrim serta buruknya kinerja pemerintahan eksekutif dan legislatif
memicu masalah sosial yang tinggi di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, 75%
total uang negera ini menggumpal di Jakarta dan sisanya di bagi ke seluruh
pelosok negeri. Jakarta menjadi menara gading emas yang menarik masyarakat desa
untuk datang dan ikut mengadu nasib. Jakarta menawarkan segalanya. Jakarta
memberikan mimpi-mimpi indah. Dan tidak usah kaget jika arus urbanisasi tidak
pernah bisa dibendung apalagi di selesaikan pemerintah. Sedangkan bagi
daerah-daerah lain di luar Jakarta, apalagi yang lintas pulau dan jauh dari
ibukota, sering kita mendengar tentang minimnya infrastruktur dan sarana
prasarana yang di bangun.
Dan kemudian yang paling meyedihkan adalah buruknya kinerja para birokrat di negeri ini. Bukan rahasia umum, bila bersentuhan dengan urusan birokrasi pasti urusannya menjadi berbelit-belit, ruwet dan memakan biaya yang besar. Memang untuk saat ini, beberapa instansi pemerintahan sudah menggalakkan dengan adanya good governance, tata kelola pemerintahan yang baik. Namun wajah para birokrat kepada masyarakat masih menampakkan wajah yang sangar daripada menyejukkan. Tidak ada ideologi mendahulukan kepentingan rakyat dan melayaninya bak seorang raja. Padahal kalau mereka ingat bahwa mereka digaji dari hasil pajak rakyat Indonesia.
PNPM hadir bukan untuk menjawab semua masalah di negeri ini. PNPM hanya bagian kecil dari berbagai usaha yang sedang di tempuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bila beliau bilang bahwa PNPM menabrak Undang-Undang No. 13 tentang Penanganan Fakir Miskin, mungkin harus sedikit kami sampaikan, bahwa PNPM tidak secara langsung menangani fakir miskin. PNPM lebih menyasar utamanya kepada masyarakat miskin cluster II yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Meskipun kemiskinan absolut juga tetap di beri porsi dari adanya Dana Sosial bagi RTM (Rumah Tangga Miskin) Absolut yang di ambil dari minimal 15 persen surplus UPK.
UU No.13 baru di sahkan pada tanggal 18 Agustus 2011 di Jakarta menyebutkan bahwa Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya (UU No.13 Tentang Penanganan Fakir Miskin Bab 1 Pasal 1). Sedang untuk PNPM sendiri, tujuan umumnya seperti yang terdapat dalam Pedoman Umum (Pedum) menyebutkan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Saya sendiri tidak melihat adanya hal yang bertentangan dari keduanya. Menurut UU No.13, fakir miskin jelas menyebutkan bahwa rakyat miskin adalah orang yang tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, sedang di PNPM yang dituju adalah masyarakat miskin yang masih memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk rakyat miskin yang tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, berarti dia termasuk sebagai miskin absolut. Dan miskin absolut instansi yang berwenang adalah Departemen Sosial.
Selanjutnya, di sebut juga bahwa dana PNPM berasal dari pinjaman Bank Dunia alias hutang. Saya tidak berkomentar. Namun bila kita melihat struktur APBN kita, pos yang mana yang tidak lepas dari hutang? Bahkan demi menaikkan gaji pegawai negeri pun di ambilkan juga dari dana hutang. Meskipun aspek kemanfaatan yang dirasakan rakyat tidak berubah.
Untuk statemen yang menyebutkan bahwa PNPM jauh dari makna pemberdayaan, sedikit banyak saya menganggukkan kepala. Namun degradasi esensi pemberdayaan dalam PNPM juga di sebabkan oleh adanya muatan kepentingan dari berbagai pihak yang menjejali PNPM dengan administrasi yang absurd, ruwet dengan tahapan kegiatan yang saling tumpang tindih sehingga tidak sempat lagi bagi para pelaku pemberdaya memikirkan makna pemberdayaan. Anda seorang pelaku pemberdaya, anda memikirkan secara tepat esensi pemberdayaan, percayalah anda akan banyak di maki oleh atasan anda karena anda terlambat memberikan laporan.
PNPM juga dalam artikel beliau di sebutkan bahwa PNPM tumpang tindih dengan proyek pembangunan lain. Saya tidak paham persis dengan pernyataan ini. Karena sepanjang pengetahuan kami, PNPM tidak pernah mendanai kegiatan yang akan di danai oleh kegiatan lain. Proses verifikasi dan aturan di PNPM yang cukup ketat, hampir tidak memberikan peluang untuk mengusulkan kegiatan yang tumpang tindih. Memang daya jelajah PNPM sangat luas dan lintas sektoral, karena PNPM di rancang sebagai embrio penanggulangan kemiskinan yang integral dari berbagai instansi. Dalam pelaksanaannya, PNPM lebih memilih usulan kegiatan yang tidak pernah bisa di akses oleh dinas serta instansi terkait. Meskipun kegiatan PNPM berfokus pada peningkatan infrastruktur perdesaan, namun usulan pembangunan proyek seringkali merupakan usulan pembangunan yang tidak pernah laku untuk di jual di SKPD. Proses pelaksanaan musrenbang saja selama ini yang seharusnya sebagai forum partisiparif dalam merencanaka kegiatan pembangunan di desa sudah tidak bisa mengcover usulan pembangunan yang diusulkan dan hanya menjadi formalitas belaka. Karena toh sudah di usulkan di musrenbang tidak ada jaminan yang pasti usulan tersebut di danai. Apalagi kalau kita boleh melebarkan lagi, usulan yang sudah sampai di tingkat Musrenbangkab seringkali pupus dengan adanya “tangan-tangan” sakti dari pemilik kepentingan dan kekuasaan. Proses partisipatif masyarakat melalui penggalian gagasan dan prioritas seakan sirna tak berbekas. Dan anehnya tidak ada yang mempertanyakan kemana usulan ini akan di bawa. Tidak kepada SKPD maupun anggota DPRD.
SKPD, Kementrian, DPR, DPRD tidak pernah bisa melihat aspirasi masyarakat secara langsung dan hanya melihat faktor luaran. Tidak heran apabila seringkali kegiatan proyek yang di danai baik dari Dinas dan usulan partisipasi DPR-DPRD sering tidak tepat sasaran dan bermutu rendah. Banyaknya proyek-proyek mangkrak di negeri ini di sebabkan tidak lain karena proyek-proyek tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat secara langsung. Namun hanya sebagai bahan bancakan kontraktor pemborong dan birokrat. PNPM dengan mengandalkan partisipasi konsep perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta pemeliharaan dari masyarakat sedikit banyak lebih lumayan daripada proyek sejenis lainnya. Meskipun juga masih terdapat kekuarangan di sana-sini.
Dan last but not least ketika PNPM di sebut sangat politis. Kami rakyat kecil tidak memahami dimana nuansa politisnya. Apakah PNPM di jadikan tameng kekuasaan, di jadikan bemper bagi para pemangku kepentingan yang dapat di gunakan sesuai kehendak. Kami tidak tahu. Namun kami berdoa bahwa PNPM tidak di politisir, hingga mengorbankan hak-hak rakyat untuk ikut menikmati pembangunan.
Dan kemudian yang paling meyedihkan adalah buruknya kinerja para birokrat di negeri ini. Bukan rahasia umum, bila bersentuhan dengan urusan birokrasi pasti urusannya menjadi berbelit-belit, ruwet dan memakan biaya yang besar. Memang untuk saat ini, beberapa instansi pemerintahan sudah menggalakkan dengan adanya good governance, tata kelola pemerintahan yang baik. Namun wajah para birokrat kepada masyarakat masih menampakkan wajah yang sangar daripada menyejukkan. Tidak ada ideologi mendahulukan kepentingan rakyat dan melayaninya bak seorang raja. Padahal kalau mereka ingat bahwa mereka digaji dari hasil pajak rakyat Indonesia.
PNPM hadir bukan untuk menjawab semua masalah di negeri ini. PNPM hanya bagian kecil dari berbagai usaha yang sedang di tempuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bila beliau bilang bahwa PNPM menabrak Undang-Undang No. 13 tentang Penanganan Fakir Miskin, mungkin harus sedikit kami sampaikan, bahwa PNPM tidak secara langsung menangani fakir miskin. PNPM lebih menyasar utamanya kepada masyarakat miskin cluster II yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Meskipun kemiskinan absolut juga tetap di beri porsi dari adanya Dana Sosial bagi RTM (Rumah Tangga Miskin) Absolut yang di ambil dari minimal 15 persen surplus UPK.
UU No.13 baru di sahkan pada tanggal 18 Agustus 2011 di Jakarta menyebutkan bahwa Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya (UU No.13 Tentang Penanganan Fakir Miskin Bab 1 Pasal 1). Sedang untuk PNPM sendiri, tujuan umumnya seperti yang terdapat dalam Pedoman Umum (Pedum) menyebutkan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Saya sendiri tidak melihat adanya hal yang bertentangan dari keduanya. Menurut UU No.13, fakir miskin jelas menyebutkan bahwa rakyat miskin adalah orang yang tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, sedang di PNPM yang dituju adalah masyarakat miskin yang masih memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk rakyat miskin yang tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, berarti dia termasuk sebagai miskin absolut. Dan miskin absolut instansi yang berwenang adalah Departemen Sosial.
Selanjutnya, di sebut juga bahwa dana PNPM berasal dari pinjaman Bank Dunia alias hutang. Saya tidak berkomentar. Namun bila kita melihat struktur APBN kita, pos yang mana yang tidak lepas dari hutang? Bahkan demi menaikkan gaji pegawai negeri pun di ambilkan juga dari dana hutang. Meskipun aspek kemanfaatan yang dirasakan rakyat tidak berubah.
Untuk statemen yang menyebutkan bahwa PNPM jauh dari makna pemberdayaan, sedikit banyak saya menganggukkan kepala. Namun degradasi esensi pemberdayaan dalam PNPM juga di sebabkan oleh adanya muatan kepentingan dari berbagai pihak yang menjejali PNPM dengan administrasi yang absurd, ruwet dengan tahapan kegiatan yang saling tumpang tindih sehingga tidak sempat lagi bagi para pelaku pemberdaya memikirkan makna pemberdayaan. Anda seorang pelaku pemberdaya, anda memikirkan secara tepat esensi pemberdayaan, percayalah anda akan banyak di maki oleh atasan anda karena anda terlambat memberikan laporan.
PNPM juga dalam artikel beliau di sebutkan bahwa PNPM tumpang tindih dengan proyek pembangunan lain. Saya tidak paham persis dengan pernyataan ini. Karena sepanjang pengetahuan kami, PNPM tidak pernah mendanai kegiatan yang akan di danai oleh kegiatan lain. Proses verifikasi dan aturan di PNPM yang cukup ketat, hampir tidak memberikan peluang untuk mengusulkan kegiatan yang tumpang tindih. Memang daya jelajah PNPM sangat luas dan lintas sektoral, karena PNPM di rancang sebagai embrio penanggulangan kemiskinan yang integral dari berbagai instansi. Dalam pelaksanaannya, PNPM lebih memilih usulan kegiatan yang tidak pernah bisa di akses oleh dinas serta instansi terkait. Meskipun kegiatan PNPM berfokus pada peningkatan infrastruktur perdesaan, namun usulan pembangunan proyek seringkali merupakan usulan pembangunan yang tidak pernah laku untuk di jual di SKPD. Proses pelaksanaan musrenbang saja selama ini yang seharusnya sebagai forum partisiparif dalam merencanaka kegiatan pembangunan di desa sudah tidak bisa mengcover usulan pembangunan yang diusulkan dan hanya menjadi formalitas belaka. Karena toh sudah di usulkan di musrenbang tidak ada jaminan yang pasti usulan tersebut di danai. Apalagi kalau kita boleh melebarkan lagi, usulan yang sudah sampai di tingkat Musrenbangkab seringkali pupus dengan adanya “tangan-tangan” sakti dari pemilik kepentingan dan kekuasaan. Proses partisipatif masyarakat melalui penggalian gagasan dan prioritas seakan sirna tak berbekas. Dan anehnya tidak ada yang mempertanyakan kemana usulan ini akan di bawa. Tidak kepada SKPD maupun anggota DPRD.
SKPD, Kementrian, DPR, DPRD tidak pernah bisa melihat aspirasi masyarakat secara langsung dan hanya melihat faktor luaran. Tidak heran apabila seringkali kegiatan proyek yang di danai baik dari Dinas dan usulan partisipasi DPR-DPRD sering tidak tepat sasaran dan bermutu rendah. Banyaknya proyek-proyek mangkrak di negeri ini di sebabkan tidak lain karena proyek-proyek tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat secara langsung. Namun hanya sebagai bahan bancakan kontraktor pemborong dan birokrat. PNPM dengan mengandalkan partisipasi konsep perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta pemeliharaan dari masyarakat sedikit banyak lebih lumayan daripada proyek sejenis lainnya. Meskipun juga masih terdapat kekuarangan di sana-sini.
Dan last but not least ketika PNPM di sebut sangat politis. Kami rakyat kecil tidak memahami dimana nuansa politisnya. Apakah PNPM di jadikan tameng kekuasaan, di jadikan bemper bagi para pemangku kepentingan yang dapat di gunakan sesuai kehendak. Kami tidak tahu. Namun kami berdoa bahwa PNPM tidak di politisir, hingga mengorbankan hak-hak rakyat untuk ikut menikmati pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar